Resep Masakan Asli Palestina yang Dicuri dan Diklaim Milik Zionis Israel

Resep Masakan Asli Palestina yang Dicuri dan Diklaim Milik Zionis Israel
Di balik kelezatan makanan khas Timur Tengah seperti hummus, falafel, dan maqluba, tersimpan kisah yang jauh lebih dalam dari sekadar resep. Makanan bukan hanya soal rasa, tetapi juga identitas, sejarah, dan warisan budaya yang telah dijaga selama berabad-abad. Itulah yang dirasakan oleh masyarakat Palestina, yang kini menyaksikan bagaimana kuliner tradisional mereka diklaim sebagai milik Israel di panggung global.
Persoalan ini bukan hanya tentang masakan. Ini adalah bentuk lain dari penjajahan budaya, di mana simbol-simbol penting dari suatu bangsa—dalam hal ini, makanan—diambil dan diakui oleh penjajah sebagai miliknya sendiri. Bagi Palestina, pencurian kuliner ini menyakitkan karena menambah daftar panjang pelucutan identitas yang telah mereka alami sejak pendudukan Israel dimulai.

Kuliner Palestina: Kaya, Bersejarah, dan Penuh Makna
Palestina memiliki tradisi kuliner yang kaya dan telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Lokasinya yang strategis di wilayah Levant menjadikan kulinernya sebagai campuran unik dari berbagai pengaruh Arab, Mediterania, hingga Ottoman. Namun, yang menjadikan masakan Palestina begitu istimewa adalah keterikatannya pada tanah dan keluarga.
Setiap hidangan yang disajikan di meja orang Palestina bukan hanya soal rasa, melainkan cerita. Maqluba, misalnya, adalah hidangan nasi yang dibalik saat disajikan—mewakili filosofi kehidupan yang bisa berubah drastis namun tetap harus dinikmati. Hummus dan falafel bukan hanya makanan ringan, tetapi simbol dari makanan rakyat—sederhana, sehat, dan mengenyangkan.
Klaim Sepihak Israel: Menghapus Jejak Asli Palestina
Masalahnya dimulai ketika berbagai restoran dan juru masak Israel di luar negeri—terutama di Eropa dan Amerika—mulai memasarkan hidangan khas Palestina sebagai bagian dari “makanan tradisional Israel.” Mereka menggunakan label “Israeli Hummus” atau “Israeli Falafel” dalam promosi, tanpa menyebut asal-usul sejarah atau budaya Palestina di baliknya.
Tidak hanya itu, dalam banyak festival kuliner internasional, makanan Palestina kerap tampil dalam paviliun Israel. Ini tentu memunculkan ironi besar: di satu sisi, warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza mengalami pembatasan akses pangan karena blokade dan kekerasan, sementara di sisi lain, makanan mereka dipajang dengan bangga oleh penjajahnya.
Pencurian Budaya: Lebih dari Sekadar Masakan
Pengklaiman kuliner ini masuk ke dalam kategori yang dikenal sebagai “cultural appropriation” atau pencurian budaya, yaitu ketika elemen budaya suatu kelompok minoritas diambil oleh kelompok dominan tanpa pengakuan atau penghormatan yang layak.
Dalam konteks Palestina, pencurian ini menjadi bagian dari proyek pendudukan Israel yang sistematis untuk menghapus eksistensi Palestina dari peta budaya dunia. Bahasa, baju tradisional, musik, hingga arsitektur, satu per satu diambil dan diklaim sebagai bagian dari “identitas Israel”, termasuk juga makanan.
Lebih menyakitkan lagi, ketika warga Palestina mencoba mengekspor makanannya sendiri, mereka sering mengalami kesulitan akibat pembatasan dari Israel. Produk-produk dari tanah Palestina seringkali ditolak masuk ke pasar internasional, sementara versi Israel dari produk yang sama mendapat label “autentik” dan “tradisional.”
Perlawanan Lewat Makanan: Kuliner sebagai Bentuk Identitas dan Eksistensi
Meski dihadapkan dengan tantangan besar, warga Palestina tidak tinggal diam. Banyak dari mereka kini menyadari bahwa makanan adalah bentuk perlawanan—cara untuk tetap menjaga identitas dan menunjukkan kepada dunia bahwa Palestina masih hidup, masih punya cerita, dan masih punya warisan.
Banyak koki Palestina mulai membuka restoran dan menggelar festival makanan di berbagai negara, dari London hingga New York. Mereka mempromosikan kuliner Palestina secara terbuka, sembari menceritakan sejarah di balik tiap hidangan.
Salah satu tokoh yang dikenal dalam perjuangan ini adalah Joudie Kalla, penulis buku “Palestine on a Plate.” Dalam bukunya, ia menyajikan resep masakan tradisional Palestina lengkap dengan kisah-kisah keluarga, tanah air, dan perjuangan rakyatnya. Ia menegaskan bahwa makanan bukan hanya untuk perut, tapi juga untuk hati dan identitas.
Media dan Dunia Internasional: Mulai Sadar dan Bersuara
Dalam beberapa tahun terakhir, perhatian terhadap isu pencurian budaya—termasuk dalam dunia kuliner—semakin meningkat. Banyak media internasional mulai mengkritik tindakan Israel yang mengklaim masakan Levant sebagai miliknya. Para akademisi dan antropolog makanan pun angkat bicara, mengingatkan bahwa budaya tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik dan sosialnya.
Beberapa negara kini mulai lebih berhati-hati dalam menyebut asal-usul makanan. Festival kuliner juga mulai melibatkan komunitas Palestina untuk menjelaskan makna budaya di balik makanan mereka. Langkah kecil ini sangat penting dalam mengembalikan narasi yang telah lama didistorsi.
Baca juga:3 Resep Masakan Tahun Baru Sederhana dan Enak
Fakta Sejarah: Hummus, Falafel, dan Hidangan Lainnya Bukan dari Israel
Perlu dicatat bahwa sebelum berdirinya negara Israel pada 1948, hidangan seperti hummus, falafel, dan tabbouleh sudah ada di Palestina dan wilayah Levant lainnya. Hidangan ini merupakan makanan sehari-hari masyarakat Arab, bukan khas etnis Yahudi yang datang dari Eropa Timur dan belahan dunia lainnya.
Bahkan, dalam banyak catatan sejarah, hummus disebut telah dinikmati sejak zaman Mesir Kuno dan dikembangkan di wilayah Suriah, Lebanon, Palestina, dan Yordania. Oleh karena itu, klaim Israel atas makanan ini bukan hanya tidak berdasar, tetapi juga mengaburkan kenyataan sejarah yang jelas.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai masyarakat internasional, kita punya peran dalam melindungi identitas budaya yang sedang dilucuti. Kita bisa:
-
Menyuarakan kebenaran asal-usul makanan lewat media sosial
-
Mendukung restoran dan produk kuliner Palestina
-
Mengedukasi orang lain soal sejarah dan makna di balik masakan tersebut
-
Tidak menyebarluaskan narasi palsu yang menghapus jejak Palestina
Setiap kita menyebut nama makanan Palestina dengan benar, atau membagikan cerita di balik resep keluarga, kita turut memperkuat eksistensi bangsa yang tengah berjuang mempertahankan warisan budayanya.
Penutup: Resep yang Lebih dari Sekadar Makanan
Resep masakan asli Palestina bukan hanya daftar bahan dan langkah memasak. Ia adalah kisah tentang tanah, keluarga, perjuangan, dan harapan. Ketika makanan ini diklaim oleh pihak yang justru menindas pemilik aslinya, maka persoalannya bukan lagi soal rasa, tapi soal keadilan dan pengakuan.
Melalui piring makanan, Palestina terus bersuara. Dan kita semua, sebagai penikmat kuliner dunia, punya pilihan: apakah ikut melanggengkan pencurian budaya, atau berdiri bersama kebenaran yang telah lama diabaikan.
Kalau kamu butuh:
-
Versi singkat untuk media sosial
-
Infografik: asal-usul makanan Palestina
-
Judul alternatif atau versi artikel netral
-
Caption untuk foto yang sudah dibuat
Tinggal bilang aja, aku siap bantu!