
Baru-baru ini, TasteAtlas, sebuah platform yang dikenal sebagai panduan makanan dunia, merilis daftar makanan Asia Tenggara dengan ulasan terburuk. Dalam daftar tersebut, empat makanan dari Indonesia, yaitu tinutuan, paniki, acar kuning, dan lawar, ikut tercatat. Dalam daftar tersebut, empat kuliner asal Indonesia ikut tercatat, memicu perdebatan di kalangan masyarakat.
Makanan yang Masuk Daftar
TasteAtlas mengungkap secara lengkap 10 makanan dengan ulasan terburuk di Asia Tenggara, termasuk empat makanan dari Indonesia. Berikut adalah daftarnya:
- Kaeng Hang Le (Thailand) – Kari khas bagian utara Thailand ini mendapatkan skor 2,1 dari 5. Sajian ini dibuat dari bumbu seperti cabai kering, serai, lengkuas, terasi, bawang putih, dan bawang merah. Biasanya menggunakan daging babi, terutama perut babi, dengan tambahan air asam, kacang tanah, dan nanas.
- Hon Mhai (Thailand)
- Laba-laba Goreng (Kamboja)
- Tinutuan (Indonesia) – Bubur khas Manado ini dianggap kurang memikat lidah pengguna TasteAtlas.
- Paniki (Indonesia) – Hidangan khas Sulawesi Utara yang menggunakan kelelawar sebagai bahan utama.
- Tom Chuet (Thailand)
- Balut (Filipina)
- Acar Kuning (Indonesia) – Acar dengan bumbu kunyit ini mendapat ulasan negatif karena rasa yang dinilai terlalu tajam.
- Puding Darah (Vietnam)
- Lawar (Indonesia) – Hidangan Bali yang menggunakan campuran kelapa parut dan daging cincang ini juga masuk daftar dengan ulasan buruk.
Baca Berita Kuliner Lainnya Dari Agam News:
Polemik Penilaian TasteAtlas
TasteAtlas menggunakan pendekatan berbasis data dan opini pengguna untuk menentukan peringkat. Namun, banyak pihak mempertanyakan kriteria dan objektivitas dari penilaian ini. Pasalnya, selera makan bersifat subjektif dan sangat bergantung pada budaya, kebiasaan, serta pengalaman pribadi.
Beberapa masyarakat merasa kecewa dan mempertanyakan bagaimana kuliner Indonesia bisa masuk dalam daftar negatif ini. Padahal, masakan khas Indonesia sering dipuji karena cita rasanya yang kaya dan bumbu yang kompleks.
Reaksi dari Masyarakat
Berita ini memicu berbagai reaksi di media sosial. Banyak warganet yang mempertahankan reputasi kuliner Indonesia dan menyebut bahwa penilaian TasteAtlas tidak mewakili selera banyak orang. “Makanan kita itu soal selera, dan tidak semua orang punya lidah Asia,” komentar salah satu pengguna Twitter.
Sebaliknya, ada pula yang menjadikan kabar ini sebagai refleksi untuk meningkatkan promosi makanan tradisional Indonesia di tingkat global. Upaya memperkenalkan kuliner secara lebih strategis dianggap dapat mengubah persepsi dunia terhadap makanan khas Indonesia.
Kekayaan Kuliner Indonesia Tetap Membanggakan
Meskipun kabar ini menimbulkan perdebatan, fakta bahwa Indonesia memiliki keragaman kuliner yang luar biasa tetap tidak terbantahkan. Beberapa makanan khas Indonesia bahkan telah mendunia, seperti rendang, nasi goreng, dan sate, yang sering masuk dalam daftar makanan terbaik versi berbagai platform internasional.
Kritik dari TasteAtlas ini seharusnya tidak membuat kita berkecil hati. Sebaliknya, ini bisa menjadi peluang untuk memperbaiki cara kita memperkenalkan dan mempromosikan kuliner lokal ke pasar internasional.
Kesimpulan
Selera makan adalah sesuatu yang subjektif dan tidak bisa disamaratakan. Penilaian dari TasteAtlas bukanlah satu-satunya tolok ukur untuk menilai kualitas sebuah kuliner. Sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan tradisi, Indonesia tetap bisa bangga dengan warisan kulinernya.
Mari kita jadikan berita ini sebagai motivasi untuk terus menjaga dan mempromosikan kekayaan kuliner Indonesia di kancah dunia.